Monday, January 07, 2008

Mengapa ekonom tidak kaya

Mengapa ekonom tidak kaya? Sebagian memang ada yang kaya. Sampai dengan kematiannya, Taikichiro Mori, seorang profesor bidang ekonomi, diberitakan sebagai orang terkaya di dunia. Beberapa ekonom memperoleh penghasilan sekitar 25.000 USD setiap kali memberikan kuliah. Ada juga yang memperoleh ribuan dolar per hari sebagai konsultan.

Ekonom ada yang dipilih menjadi anggota kabinet dan menjabat sebagai Menteri Perdagangan, Menteri Pertahanan, Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Keuangan. Ilmu Ekonomi adalah satu-satunya ilmu sosial yang mendapatkan penghargaan Nobel. Ulasan oleh ekonom dimuat di media massa setiap hari.

Seorang kolumnis New York Times menulis bahwa pengusaha mempekerjakan ekonom dalam jumlah besar dan membayar biaya konsultasi yang besar bagi ekonom, karena pengusaha percaya bahwa bola kristalnya ekonom – meskipun sudah retak – masih tetap lebih baik daripada tidak menyewa mereka sama sekali.

Meskipun media massa banyak memuat tulisan atau pendapat ekonom, orang tertentu tidak menyukainya. Ahli ilmu sosial yang lain tidak menyukai ekonom karena keterkenalannya melalui hadiah Nobel dan akses yang kuat pada kekuasaan. Salah satu artikel dalam The Economist, sebuah berita mingguan terkenal dari London, menyatakan bahwa pendapat ekonom sudah sangat mempengaruhi kebijakan sampai pada tingkat yang dapat menyebabkan ilmu sosial lain menjadi diabaikan.

Meskipun mendapat kritikan, ekonom unggul karena model-modelnya biasanya lebih dapat menjelaskan dunia yang rumit ini dibandingkan pendekatan lain. Tidak semua ekonom kaya, karena kekayaan individu memang bukan tujuan dari ilmu ini. Dalam pengertian yang sama, tidak semua dokter dalam keadaan sehat; tidak semua tukang kayu tinggal dirumah yang bagus; tidak semua konsultan pernikahan mempunyai pernikahan yang bahagia; dan tidak semua psikolog anak mempunyai anak yang terbina dengan baik.

Meskipun demikian, bagi yang mempelajari ilmu ekonomi akan memperoleh imbalan.

Sumber : William A. McEachern, Ekonomi Makro : Pendekatan Kontemporer (Jakarta : Salemba Empat, 2000)

Keren ya? Well, saya sempet tercengang juga begitu sadar kalo ternyata belajar ekonomi tuh menyenangkan. Semakin diulang, semakin sayang… Hehe.. Apalagi kalo buku teksnya banyak menghadirkan studi kasus dari dunia nyata, gak melulu teori. Buku-buku yang saya suka sejauh ini kebanyakan memang berasal dari luar negeri – seperti Ekonomi Internasional-nya Salvatore atau Manajemen-nya Robbins-Coulter atau Mikro Ekonomi-nya Samuelson-Nordhaus –, baik yang masih dalam bahasa aslinya atau sudah diterjemahkan. Mantap abis!

Kalo ekonom dalem negeri? Hmm, nampaknya kebanyakan dari mereka lebih sibuk ngurusin perekonomian diri sendiri. Whooopss.. Sorry to say, but that’s the truth. Atau ada juga yang sibuk mengabdikan diri jadi ‘pembantu’ pemerintah, ngurusin perekonomian dalam negeri yang kacau. Gak bisa nyalahin juga sih. Tapi mbok ya o kita-kita yang masih pada belajar ini dipikirin juga.. Mbok ya o kita-kita nih dibuatin buku yang gak membosankan, yang isinya gak cuma teori yang bikin bosen, tapi juga peristiwa ekonomi yang nyata. Gak heran kan, kalo kebanyakan mahasiswa ekonomi buku rujukannya karangan ekonom luar negeri, dengan studi kasus dari luar negeri, jadi punya point of view ala luar negeri, trus ntar pas udah lulus jadi bablas mengabdi di luar negeri – atau untuk luar negeri – juga…

Tanya kenapa???

2 comments:

Anonymous said...

Kalo kata orang bijak, "Hanya orang miskin yang ingat akan kemiskinan." Jadi kalau pemimpin Negara melupakannya itu biasa. Dan kalau orang kaya di masyarakat kita tak peduli akan orang miskin itu pun sudah "kodrat" kulturalnya memang begitu.

Bapak Mahatma Gandhi bahkan pernah bercerita bahwa, ia memandang ekonomi yang dilekati oleh karakter kerakusan, dan kecenderungan melipatgandakan keinginan2 dan kebutuhan manusia dalam tingkatan yang tidak terbatas, serta cenderung mengabaikan penegakan kekuatan dan prinsip2 moral. So, tentunya gak akan membawa manusia itu menjadi lebih dekat dengan kebahagiaan, kepuasan dan kedamaian.

Jadi inget thesis Amartya Sen, Development as Freedom (1998), yang didalamnya menyebutkan bahwa "freedom" itu dibagi menjadi dua, "instrumental freedom" dan "substantif freedom". Nah, sekarang kita memandang suatu nilai ekonomi (kekayaan) pake yang mana? Sebagai instrument atau substantif.

Oh iya, kalo Tigger mau, saya punya banyak tulisan mengenai perekonomian nyata baik itu kritik maupun ide, baik lokal maupun interlokal (mancanegara) dari beberapa orang yang memang kritis. Ada di mailbox saya, bisa di forward kok.

Kalo permasalahannya teks book yang digunakan membosankan, yah memang membosankan.. Buku Indon lebih ngebosenin? pasti lah.. wong penulise sing keren wae masih kuliah kok.. (maksudnya Tigger).

Ayo bikin tulisan pelan2, bikin jurnal, trus bikin thesis, terus menang nobel!!

Amiiinnnn

apung said...

kok untuk urusan beginian gak laku yah di blog??