“Bagaimana denganmu, dik?” tanya Mbak Dewi sore itu. Aku diam saja. Ada sesuatu dalam pertanyaan itu yang membuatku merasa risih. Tentu saja aku merasa risih. Ketika seseorang ditanya tentang kriteria pasangan hidup, padahal seseorang itu merasa sudah cukup umur untuk menikah namun belum ada yang ‘datang’, bukankah pertanyaan itu sedikit menjebak?
Pertanyaan itu tidak kujawab. Setidaknya, belum. Ingin sekali aku menjawab, tapi lidah ini terasa kelu. Tidak pantas rasanya aku mengharapkan seseorang. Siapakah aku ini? Sampai begitu beraninya menetapkan kriteria bahwa pasanganku nanti harus begini, harus begitu, seperti ini, seperti itu.. Hina! Aku ini hina!
Pagi itu, aku berjalan menyusuri jalan yang masih lengang. Dari kejauhan aku melihat ada dua orang lelaki yang berjalan berlawanan arah denganku. Ketika semakin dekat, aku melihat cara mereka memandangku. Menjijikkan! Tatapan matanya, senyumnya, biadab! Aku cepat-cepat menunduk dan berjalan setengah berlari menjauhi mereka. Dari jauh aku masih bisa mendengar suara mereka tertawa. Alhamdulillah, Kau luputkan aku dari malapetaka…
Itu bukanlah yang pertama kalinya. Sudah seringkali aku mendapati lelaki yang memandangi wajahku lekat-lekat dan tersenyum nakal, atau menggoda, memanggilku dengan nama yang kurang ajar. Apa yang mereka lihat? Aku berjilbab! Mataku seringkali tertunduk! Aku merasa risih jika di dalam bus misalnya, ada lelaki yang tak henti-hentinya memandang ke arahku dan terang-terangan mengamati wajahku. Apa yang salah pada diriku? Kenapa lelaki itu memandangiku?
Pertanyaan itu dijawab oleh Mbak Dewi di suatu sore. “Karena kamu cantik..” Cantik? Hhh.. ingin rasanya aku tertawa terbahak-bahak ditambah berguling-guling di pelataran jalan Malioboro di malam Minggu! “Apalagi kamu punya sesuatu yang lain. Ada aura tertentu yang membuatmu semakin bersinar dan itu menambah kecantikanmu. Kamu punya inner beauty..” Aku diam.
Rasa maluku sudah tak tertahankan lagi. Aku menganggap kejadian di dalam bus itu sebuah penghinaan! Kejadian paling memalukan! Hampir saja aku mengambil keputusan untuk bercadar saja. Supaya tidak ada yang bisa melihat wajahku. Tapi ada konsekuensi yang lebih berat lagi yang harus kutanggung ketika aku memakai cadar. Dan aku tidak yakin aku bisa menjalani konsekuensi itu.
Tiba-tiba aku teringat pada pertanyaan Mbak Dewi beberapa hari yang lalu. Tentang kriteria pasangan hidupku. Inikah jawabannya? Aku tidak suka jika ada orang yang menyukaiku karena wajahku. Aku tidak suka jika ada orang yang mencintaiku karena wajahku. Itu berarti dia tidak benar-benar menyukai dan mencintaiku, tapi hanya menyukai dan mencintai wajahku. Jawaban itu datang tiba-tiba melalui nalar logika sederhana.
“Lebih baik dia buta..”
Yogyakarta, 28 Oktober 2007, 07.43 PM
--cerita ini terinspirasi dari curahan hati seorang ukhti yang muak dengan penilaian orang-orang (terutama kaum adam) terhadap dirinya yang hanya didasarkan pada penampilan wajahnya saja.. ehm, of course, it wasn’t me.. hehe..--