Monday, June 18, 2007

Berharap Durian Runtuh

Sungguh tidak ada yang salah dengan hal itu. Pengharapan membuat perjuangan hidup jadi lebih bermakna. Seolah ada pendorong, motivasi, yang menyemangati kaki untuk melangkah kedepan. Ada yang merangkul, ada yang menepuk bahu, ada yang memeluk, ada yang tersenyum, yang menentramkan hati. Ada yang diajak tertawa dan menangis bersama-sama. Bagi saya, pengharapan datang dari orang-orang tercinta, yaitu teman dan keluarga.

Saat ini, saya berharap akan sebuah keadaan dimana saya merasa nyaman. Saya berharap ada ‘durian runtuh’. Sebuah frase berkonotasi yang menggambarkan keberuntungan bagi yang ‘diruntuhi’. Keberuntungan bukanlah kebetulan. Sejujurnya, saya tidak percaya ada hal yang terjadi karena kebetulan.

Saya berharap, kebingungan saya selama ini akan ada penyelesaiannya (bukan sekedar pemecahan. Karena sesuatu yang dipecahkan, justru akan menjadi kepingan kecil, tapi tetap ada disana, tidak menghilang).

Saya sebentar lagi harus mengambil keputusan. Antara harapan saya dan harapan orangtua. Saya berharap bisa melanjutkan kuliah di universitas terbaik (paling tidak menurut ukuran saya). Itu berarti saya kembali harus meninggalkan rumah, pergi jauh keseberang pulau. Meninggalkan kedua orangtua untuk kedua kalinya dalam jangka waktu yang lama. Tapi saya merasa bersalah.

Orangtua saya tidak keberatan. Mereka bahkan mendukung, menyemangati. Tapi kalau boleh memilih, saya tahu mereka lebih suka saya tinggal disini, bersama mereka. Saya bimbang. Merasa jadi anak durhaka. Setelah apa yang sudah mereka berikan, saya malah pergi meninggalkan mereka. Saya tidak ingin di hari tuanya, mereka malah hidup sendiri, kesepian di rumah, tanpa ada yang menemani. Anak macam apa saya ini?

Ketika mereka nanti sudah renta, sudah sakit-sakitan, tidakkah mereka merasa sakit hati telah ditinggalkan oleh anak-anaknya? Habis manis sepah dibuang. Demi Allah yang menggenggam hidup saya, itu adalah hal terakhir yang ingin saya dengar dari bibir kedua orangtua saya. Saya tidak rela membiarkan mereka menderita di hari tuanya. Saya tidak rela menyerahkan tanggung jawab mengurus mereka kepada orang lain. Sama seperti tidak relanya mereka menyerahkan tanggung jawab mengurus saya ketika saya masih kecil.

Saya anak kedua dari 3 bersaudara. Kakak perempuan saya sudah berada jauh di Purwokerto, bersama anak dan suaminya, membangun sebuah kehidupan disana. Rasanya sulit, bahkan untuk sekedar berharap bahwa mereka akan pindah ke Palembang. Adik laki-laki saya sebentar lagi akan menduduki bangku smu. 3 tahun dari sekarang, dia pasti akan pergi jauh juga. Saya tahu, saya bisa membaca dari gelagatnya.

Terlebih lagi, saya ditakdirkan untuk pulang setelah 2 tahun berada di Jakarta. Apakah ini memang ketentuan Allah, bahwa saya memang harus berada disini? Kalau kemudian saya memiliki keinginan untuk pergi lagi, apakah saya salah? Apakah saya melawan?

“Ummi, kamu pulang aja ya…” Begitu kata-kata ibu di telepon sekitar 10 bulan yang lalu. Saya menangis, ibu menangis, bapak menangis. Sungguh berat rasanya mengambil keputusan itu. Tapi saya tidak menyesal, karena disini saya belajar lagi untuk semakin mencintai dan menghargai jerih payah kedua orangtua saya. Saya sering merasa heran, bagaimana mungkin mereka bisa bertahan menghadapi tingkah laku saya yang terkadang masih kekanak-kanakan. Terkadang masih suka melawan, mendiamkan, kesal pada keduanya. Saya seolah benar-benar sudah bisa merasakan hawa panas neraka di ujung jemari kaki saya…

Sekarang saya harus bagaimana? Sembari terus berharap akan adanya ‘durian runtuh’ itu, saya juga terus berusaha membahagiakan keduanya. Berharap saya diberi banyak waktu untuk membalas kebaikan keduanya. Sebelum terlambat.

7 comments:

ammah said...

ummi sayang...hidup itu memang penuh pilihan.mintalah petunjuk Allah sayang... sholat istikharah,minta kemantapan hati agar tak salah melangkah.kalaupun memang mengharuskan untuk tetap di palembang inyaAllah akan ada pahala dalam sebuah pengorbanan amin.semangaaaat

Anonymous said...

Ikhti yg di muliakan Allah, mintalah kepada sang pemberi pilihan...mengadulah kepadanya di malam2 terakhir...insya Allah, Allah akan memberikan putusan yg terbaik bagi hambanya yg selalu berserah diri..ingat jng lg minta durian runtuh entar kena durinya sakit lho....he he he...

Anonymous said...

mi, pergi bukan brarti durhaka.
kita cuma pergi secara fisik. hati kan nggak. bukankah itu lebih baik dari pada pergi secara hati?

aku yakin, orang tua umi juga pasti pengen yg terbaik buat umi. life is like a box of chocolate. kamu ga bakal tau rasanya kalo ga kamu coba. lebih dari itu, kamu ga akan tau pengaruhnya akan masa depan kamu kalo ga kamu coba.

aku ga akan nyaranin mana yg baik buat umi. karena umi yg paling tau mana yg baik buat umi. aku tau bgt umi org yg keras. berkemauan keras, dan cerdas. umi pasti tau yg umi mau.

umi pikir aja dulu pelan-pelan. mana yg umi mau. bukan yg org mau. karena hidup umi, umi sendiri yg jalanin. walo ortu punya andil, tapi mereka ga akan bisa selamanya di samping umi secara fisik. dan mereka, ga akan menjalankan hidup umi untuk umi. pada akhirnya kita musti ngadepin semuanya sendiri tho?

chayo yah!
semangkaaaa

Unknown said...

saatnya memilih.....
sekarang bukan nanti

Emaknya Hikari said...

hmm...
jazaakumullah ya, semuanya..
ini emang keputusan besar.
semoga saya gak bikin keputusan yang salah..

Siti Nurkhasanah said...

assalamualaikum
de ummi, pa kabar?
ni mba anna, yg dulu suka maen ke blossom itu loh...
pa kabar de?
mba anna suka blog de ummi de..
keep on blogging y de..
what ever will be, keep istiqomah..


wassalamualaikum
salam dari pantai barat sumatera
manna

Emaknya Hikari said...

@siti nurkhasanah
Wa'alaikumsalam.. Ya masih inget dong mb.. Kapan2 mampir sini lagi y mb. Miss u.. ^_^