Setelah terlibat pertikaian dan perkelahian batin yang berkepanjangan, saya sadar, bahwa saya tak punya (dan jangan-jangan memang tak pernah punya) kuasa untuk menolak panggilan jari jemari tangan saya yang sekian lama hampa, merindu akan pertemuan dengan tuts keyboard yang begitu tampan, menarik dan menggoda.
Dan saya kembali menuliskan semuanya. Semuanya.
Kangeeeenn bangeeettt!!! Jika tuts keyboard serupa lembaran uang, akan saya ambil, saya cium, saya peluk, saya bawa berlari, dan menari berputar-putar di tengah padang rumput, atau di jalanan, atau di tengah pasar, atau di ruang kelas indah ber-AC, menari berputar-putar seperti orang gila, lalu saya simpan rapat-rapat dalam dompet khusus. Tak ada niat untuk dipakai membeli buku, atau jilbab, atau bubur ayam. Suatu waktu, akan saya keluarkan lembaran uang itu, untuk saya ciumi lagi, saya peluk, saya bawa berlari. Dan saya akan bercerita padanya, semuanya. Semuanya.
Betapa saya ingin bisa bebas, memandangi birunya langit, sambil tertidur di atas hamparan rumput yang luas, dan tersenyum, dan menarik napas dalam-dalam, dan tersenyum. Sehingga senyum telah menggantikan semua kosakata yang mendadak hilang dari otak saya.
Betapa saya ingin jadi hidup, dan berteriak, dan berlari, dan berguling, dan menjejak, dan memukul, dan mencubit, dan tertawa. Bahwa saya ada. Bahwa saya ada.
No comments:
Post a Comment