Monday, May 19, 2008

Trilogi Ahmad Tohari



Ronggeng Dukuh Paruk. Lintang Kemukus Dinihari. Jantera Bianglala.

Suatu hari, saya dihadapkan pada sebuah realita, bahwa ketidakmampuan laptop saya dalam mengakses situs beralamat www.friendster.com , membuat saya kecewa dan kehilangan pegangan. Tidak bisa dipungkiri, bahwa setelah mengecek e-mail, situs itu yang kemudian biasa saya akses. Saya begitu mengharap akan adanya comments, atau messages, atau sekedar penambahan jumlah di Who’s Viewed Me. Haha! Sebuah ungkapan penuh kejujuran dari seorang yang begitu khawatir akan dengan mudah dilupakan oleh orang-orang yang dulu pernah mengenalnya. Khawatir akan eksistensi alias keberadaan dirinya. Pathetic!

But that’s me.

Well, I’m not going to talk about that.

Lantas, apa yang harus saya lakukan demi mengisi kehampaan layar monitor laptop ini? Demi memanfaatkan fasilitas hotspot gratis ini? Demi memanfaatkan waktu luang disela perkuliahan yang (dengan kurang ajar-nya) menyita lebih-kurang 10 dari 24 jam hidup saya dalam sehari ini? Demi memenuhi panggilan batin yang meronta-ronta mengharapkan sedikit penghiburan dan pelampiasan atas tekanan yang bertubi-tubi?

e-book.

Orang bijak bilang, “Bertanyalah pada rumput yang bergoyang. Dan sang rumput-pun akan langsung membuka laptop-nya dan mengakses Google.”

Setelah melalui proses yang tidak rumit dan tidak membingungkan, saya mendaftar ke dalam sebuah komunitas pengguna e-book. Yang jargonnya ‘Mencerdaskan Anak Bangsa’, sedikit banyak telah membuat saya ‘belingsatan’ karena teringat akan satu komunitas berjargon serupa tapi tak sama.

Anyway, search-punya-search, nampaklah sedikit kecerdasan dalam otak saya yang bebal ini. Saya mau cari novel atau cerpen jadul! Bangsanya Kuntowijoyo, Ashadi Siregar, Motinggo Busye, Umar Kayam, HAMKA, Ahmad Tohari, dan teman-teman seusianya. Tanpa mengerti sebabnya, saya selalu punya ketertarikan terhadap hal-hal tertentu yang diciptakan di tahun-tahun sebelum 90-an. Yang termasuk dalam pengertian ‘hal-hal tertentu’ adalah musik, atau karya tulis, atau foto, atau film, atau dokumen resmi seperti ktp, surat tanah, akte kelahiran, atau hal-hal lain yang cenderung ekstrim dan sulit untuk dideskripsikan bahkan oleh seorang deskriptor ulung.

Dapat! Saya pun terkekeh girang, seperti bocah laki-laki dari dusun yang bercelana kolor kebesaran dan bertelanjang dada dengan perut kempis, yang sudah menunggu berjam-jam sambil nungging di dekat lubang persembunyian serangga kecil entah apa yang sedang bernasib naas pada hari itu karena harus mengakhiri hidupnya dihimpit oleh gigi-gigi keropos kekuningan milik sang bocah.

Oh lala.. senangnya hatiku…

Saya terlebih dahulu menyantap hidangan yang disajikan oleh Ahmad Tohari. Lebih karena faktor keberuntungan. Tidak membutuhkan waktu lama. Tiga sajian istimewa ludes dan hanya tersisa piring-piring kosong. Saya duduk bersandar, menatap langit-langit, mengingat kembali rasa dari sajian-sajian yang baru saja saya nikmati. Saya puas.

Bagi saya, ketiga-nya tidak hanya memberikan penghiburan, tapi juga kesadaran.

Saturday, May 17, 2008

Okay, okay.. I'm up!

Setelah terlibat pertikaian dan perkelahian batin yang berkepanjangan, saya sadar, bahwa saya tak punya (dan jangan-jangan memang tak pernah punya) kuasa untuk menolak panggilan jari jemari tangan saya yang sekian lama hampa, merindu akan pertemuan dengan tuts keyboard yang begitu tampan, menarik dan menggoda.

Dan saya kembali menuliskan semuanya. Semuanya.

Kangeeeenn bangeeettt!!! Jika tuts keyboard serupa lembaran uang, akan saya ambil, saya cium, saya peluk, saya bawa berlari, dan menari berputar-putar di tengah padang rumput, atau di jalanan, atau di tengah pasar, atau di ruang kelas indah ber-AC, menari berputar-putar seperti orang gila, lalu saya simpan rapat-rapat dalam dompet khusus. Tak ada niat untuk dipakai membeli buku, atau jilbab, atau bubur ayam. Suatu waktu, akan saya keluarkan lembaran uang itu, untuk saya ciumi lagi, saya peluk, saya bawa berlari. Dan saya akan bercerita padanya, semuanya. Semuanya.

Betapa saya ingin bisa bebas, memandangi birunya langit, sambil tertidur di atas hamparan rumput yang luas, dan tersenyum, dan menarik napas dalam-dalam, dan tersenyum. Sehingga senyum telah menggantikan semua kosakata yang mendadak hilang dari otak saya.

Betapa saya ingin jadi hidup, dan berteriak, dan berlari, dan berguling, dan menjejak, dan memukul, dan mencubit, dan tertawa. Bahwa saya ada. Bahwa saya ada.