Friday, December 21, 2007

Economically Thinking


Punya sim card lebih dari satu? Sama dong… Saya punya 4 sim card.. IM3, 3, Mentari sama Kartu As. Tapi yang lebih sering aktif yang Kartu As. Yang 3 dipake buat keadaan darurat sama buat sms atau nelpon temen yang juga pake 3. Yang IM3 khusus dipake buat ngenet berhubung tarifnya paling murah. Yang Mentari udah lama gak pernah dipake…

(Dasar mahasiswa oportunis!)

Selalu mencari celah untuk mengambil kesempatan. Pertimbangannya ya demi meraih keuntungan dong.. Kata ibu dosen makroekonomi saya, ada 2 prinsip dasar ekonomi. Pertama, dengan jumlah dana tertentu, perolehan hasil harus maksimum. Kedua, dengan perolehan hasil tertentu, jumlah dana harus minimum. Got that right, eh?

Aplikasinya? Ya buat saya, dengan memiliki beberapa sim card sekaligus, paling tidak bisa membuat saya jadi lebih hemat. Apalagi promo 100 sms gratis-nya Kartu As masih ada. Plus sesama 3 bisa sms-an gratis. Dan tarif gprs-nya IM3 yang hanya Rp 1/kb itu… Saya jadi gak perlu buang uang banyak buat pulsa.

Hal ini juga yang bikin saya sedikit terkejut. Lama bergaul dengan temen-temen disini, saya jadi bisa tau berapa rata-rata jumlah uang yang diterima mereka per bulan. Ternyata rata-rata jumlahnya bisa 2 kali lipat dari jumlah uang yang saya terima. Dan mereka bilang uang segitu kadang masih kurang! Beuh, saya geleng-geleng kepala… Padahal uang saya aja masih bisa nyisa loh.. Lumayan kan buat ditabung.. Ini emang saya pinter ngatur keuangan (yang kemudian membuat saya setengah mempertimbangkan berkarir sebagai konsultan keuangan) atau pelit yak? Hehe..

Dari apa yang saya lihat, kesalahan mereka kebanyakan adalah karena tidak ada penentuan prioritas kebutuhan. Buat mereka, semuanya jadi prioritas. Pantaslah kalo generasi kita dicap sebagai generasi konsumtif. Bisanya ngabisin duit orangtua aja.. Dalam ilmu ekonomi, Y=C+S. Untuk mencapai keseimbangan (balance alias tawazun), pendapatan yang diterima seseorang tidak digunakan untuk konsumsi (Consumption) belaka, tapi juga ditabung (Saving). Siapapun yang pernah belajar ekonomi makro pasti tau…

Terus, apa yang terjadi seandainya Y=C? Pernah dengar yang namanya Break Even Point alias BEP kan? Titik impas. Segitu masuk, segitu keluar. Ciri-ciri orang merugi kan seperti itu. Ibaratnya hari ini bikin dosa 5, sama dapet pahala 5, jadi timbangan amalnya gak lebih berat ke sebelah pahala dong.. Dan di Indonesia Raya kita tercinta ini (sebuah frase yang sering sekali diucapkan oleh ibu dosen makro saya, yang nada pengucapannya seringkali bernada skeptis), orang terbiasa berhutang. Jadinya, konsumsi lebih besar dari pendapatan. Saking mengurat-akarnya kebiasaan ini, sampe-sampe para ahli bahasa di Indonesia Raya kita tercinta ini, mengabadikannya dalam sebuah peribahasa yang berbunyi “Besar pasak daripada tiang”.

Geleng-geleng kepala deh… Jadi, solusinyaaa??? Belajar Fiqih Prioritas dulu gih!

*yuukk.. mantaappz*

Wednesday, December 19, 2007

My Little Brother

Well, he’s not that little.. He’s 14 years old, on his first year at high school already, and he’s also awfully tall.. About 170 centimeters.. He has to be my 'big' little brother, if you know what I mean.. hehe.. Kalo dia dipakein jaket almamater kampus apaa gitu, trus disuruh bawa toa sama poster karton gede, trus berdiri di bunderan air mancur masjid agung palembang, pasti dikira mahasiswa mau demo.. hehe.. Abisnya tampangnya emang sok gede gitu, sok tau pula.. Padahal makan aja masih diambilin sama Ibu! Dasar manja!


As you know, sekitar 3 minggu yang lalu, saya pulang ke Palembang. Kuliah saya yang enggak normal itu, ngasih waktu libur 2 minggu. Saya perhatiin, adik saya tuh agak susah nurut sama Ibu-Bapak. Entah kenapa ya? Tapi, saya juga perhatiin, emang kedua orangtua saya (terutama Ibu) emang dari kecil agak memanjakan si adik saya ini tadi. Ya, maklum aja, anak laki-laki yang paling ditunggu-tunggu kan… (satu hal ini juga yang masih sering saya perdebatkan dengan diri saya sendiri setiap kali saya melihat ketidakadilan yang berhubungan dengan masalah gender)

Tiap kali dimintai tolong sesuatu sama Ibu, pasti lamaaaa banget ngelakuinnya. Abisnya dia lengket terus sama gitar dan komputernya. Apalagi kalo lagi nyamain permainan gitarnya sama lagu yang diputer di komputer.. Hwadooh, jangan harap dia bakal nengok kalo dipanggil, kecuali dicolek sambil melotot!

Kalo sama Bapak ya gitu juga.. Cuma mungkin intensitasnya gak sesering sama Ibu, soalnya Bapak kan lebih jarang di rumah daripada Ibu. Saya perhatiin, sifatnya adik saya ini lebih mirip sama Ibu. Soalnya Ibu juga anak bungsu sih, anak perempuan satu-satunya dari 4 bersaudara. Saya menduga, Ibu juga dulunya dimanja. Lah kalo Bapak, jauuuhh lebih sabar. Soalnya, Bapak anak kedua dari 11 bersaudara, dan Bapak tu anak laki-laki tertua. Jadinya Bapak udah biasa ngemong adik-adiknya sama bertanggungjawab terhadap pengawasan adik-adiknya itu. Kloplah sama Ibu.. (hmm, kok kayaknya paragraf ini gak nyambung sama judul yah? Ngehhehehe..)

Pokoknya hampir tiap hari adaaa aja ulahnya yang bikin Ibu kesel.. (hmm.. kind of remind me of someone.. hehe) Yang lelet berangkat Jum’at-an lah, yang pergi maen bowling ke Ramayana gak bilang sama Ibu lah, dah gitu nekat pergi bawa motor padahal punya sim aja enggak! Saya? Saya bingung. Kok, adik saya ini kelakuannya sedikit banyak mirip sama kelakukan saya waktu masa puberty ya? Bandel.. Apa ini emang lagi masa-masanya dia berontak, melawan segala sesuatu yang ada di dunia ini. Istilahnya, Me versus the World itu?

Sunday, December 02, 2007

Jangan Nodai Jilbabmu


Hmm, sebenernya sudah lama saya pengen nulis ini. Sudah beberapa kali saya mengalami kejadian yang hampir sama.


Yang pertama, saat saya mau berangkat kuliah, saya lewat depan masjid kampus (biasa disebut maskam). Ada seorang ibu tua (umurnya sekitar 60 tahun-an) berdiri di pinggir jalan. Melihat saya, ibu itu datang menghampiri.

"Neng, tolongin ibu.. Ibu mau pulang ke rumah.. Tapi gak punya uang.. Tolongin ibu, neng.."

Tanpa berprasangka, saya langsung merogoh dompet dan memberikan uang secukupnya. Tapi yang membuat saya kaget, keesokan harinya, saya lewat tempat yang sama. Dan ibu tua itu masih disana. Begitu melihat saya, ibu itu memalingkan mukanya dan segera berlalu. Seolah tidak ingin saya hampiri.



Yang kedua, saat saya mau ke Jombor, beli tiket bus ke Palembang. Saya berdiri menunggu bus di bunderan filsafat (masih di deket maskam juga). Ada seorang ibu (umurnya sekitar 40 tahun-an) datang menghampiri saya.

"Mbak, saya mau pulang.. Tapi gak punya ongkos.. Bisa minta sedekahnya?"

Kali ini saya berpikir. Bahkan cenderung berprasangka (yang kalau saya ingat kembali, saya jadi menyesal sekali..). Saya teringat dengan kejadian sebelumnya di depan maskam.. Akhirnya saya beralasan kalau saya memerlukan uang yang ada pada saya untuk membeli tiket bus ke Palembang. Saya memang tidak bohong, tapi saya sadar itu perbuatan yang tidak baik. Ibu itu kemudian pergi.


Yang ketiga. Baru terjadi kemarin. Di dalam bus Putra Remaja jurusan Jogja. Di Brebes, ada seorang perempuan (yang kepada saya mengaku masih kelas 3 smu, walaupun terlihat lebih tua dari pengakuannya) yang naik. Sewaktu hampir sampai terminal Jombor, perempuan ini melihat saya duduk sendiri. Dia lalu duduk disebelah saya. Menyapa saya dengan kalimat yang lazim terdengar dari seorang aktivis dakwah.. (hmm.. you know.. sapaan seperti afwan, ukhti, na'am, dsb..)

Bertanya saya kuliah dimana, jurusan apa, kosnya dimana, punya sodara berapa, dll. Saya senang-senang saja.. Sampai kemudian, dia mengeluarkan uang 50ribu rupiah, dan bertanya apakah saya punya uang kecil buat ditukar dengan uangnya itu. Saya menghitung uang di dompet, hanya ada 40ribu-an. Lalu dia bilang mau pinjam 20ribu untuk bayar ongkos bus. Ya, saya pinjamkan saja. Toh dia bilang nanti waktu turun dari bus, uangnya yang 50ribu dipecah di warung dan 20ribu saya akan dikembalikan.

Yang bikin saya seperti tersadar, ada seorang bapak yang tadinya duduk dibelakang, tiba-tiba menghampiri kami dan berkata :

"Wah, yang ini mau dikerjain juga?"

Perempuan itu tadinya duduk dan ngobrol dengan si bapak ini. Saya tau, soalnya obrolan mereka terdengar dari tempat saya duduk. Yang saya tidak tahu adalah penyebab kata-kata bapak itu tadi. Saya diam saja, tapi masih berpikir.

Kemudian saya turun, diikuti oleh perempuan itu. Saya mengajaknya ke warung terdekat untuk menukar uangnya tadi. Tapi tiba-tiba dia memegang tangan saya dan berkata.

"Mbak, ikhlas gak bantuin anak yatim? Buat anak yatim nih mbak.. Boleh minta sedekahnya, mbak?"

Saya kaget setengah mati. Apa-apaan ini? Saya mencoba menguasai diri. Saya lalu berkata..

"Ya udah deh, uangnya buat mbak aja.. Yang 20ribu gak usah dibalikin.. InsyaAllah saya ikhlas.."

Dan saya masih berusaha tersenyum padanya. Tapi dia kemudian menampakkan wajahnya yang terlihat memelas, dengan mata yang berkaca-kaca (walaupun saya tidak yakin akan kejujuran wajah dan mata itu). Dia berkata...

"Mbak, saya mau beli mukena mbak.. Mbak mau kan beliin mukena buat saya? Kasih sedekahnya buat saya beliin mukena mbak.."

Okay... That's it! Ini udah keterlaluan. She's been gone too far.. Saya hanya sempat berkata maaf, kemudian pergi meninggalkannya, walaupun dia masih memanggil-manggil saya.



Saya heran, betul-betul heran. Tidak adakah cara yang lebih baik untuk mendapatkan uang selain dari menipu? Yang bikin saya lebih heran lagi, ketiga perempuan itu semuanya berjilbab! Dimana izzah mereka? Tak punyakah mereka rasa malu? Pernahkah mereka mendengar kata harga diri? Saya bener-bener gak habis pikir.. Mereka memakai jilbab, apakah hanya sebagai kamuflase belaka? Supaya orang percaya, bahwa mereka orang baik-baik, orang soleh, gak mungkin bohong, gak mungkin nipu..

Gimana kalo kejadian ini menimpa orang lain? Kemudian mereka jadi berburuk sangka terhadap setiap perempuan berjilbab?

Tapi lagi, saya sadar. Mereka tentu tidak sepenuhnya salah.
Let's just say, bahwa saya terlalu berprasangka buruk sama orang lain.
Mungkin, ini bentuk teguran Allah buat saya.. Mungkin selama ini sedekah saya kurang.. Mungkin juga saya kurang memperhatikan saudari saya..
Saya yakin, ada hikmah dibalik setiap kejadian.

Dan untuk kejadian yang ini, hikmahnya adalah saya perlu introspeksi diri lagi.